بسم الله الرحمن الرحيم
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِى الْمَالُ
“Sesungguhnya bagi setiap umat ada cobaan, dan cobaan bagi umatku adalah harta.” [HR. At-Tirmidzi dari Ka’ab bin ‘Iyadh radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 592]
Beberapa Pelajaran:
1) Hadits yang mulia ini memperingatkan agar berhati-hati dari berbagai kenikmatan dan kemewahan dunia yang dapat melalaikan manusia dari mengingat Allah ta’ala dan membuat lupa kenikmatan yang hakiki di akhirat kelak. Al-Imam Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata,
أَيْ اللَّهْوُ بِهِ لِأَنَّهُ يُشْغِلُ الْبَالَ عَنْ الْقِيَامِ بِالطَّاعَةِ وَيُنْسِي الْآخِرَةَ
“Makna cobaan dunia adalah bersenang-senang dengan kenikmatan dunia, karena ia dapat menyibukkan diri dari melakukan ketaatan dan membuat lupa akhirat.” [Tuhfatul Ahwadzi, 6/121]
2) Mengapa harta adalah cobaan yang berat dan perlu diperingatkan? Al-‘Allamah Ali Al-Qoori rahimahullah berkata,
لِأَنَّهُ جَامِعٌ لِحُصُولِ الْمَنَالِ وَمَانِعٌ عَنْ كَمَالِ الْمَآلِ
“Karena harta sanggup mengumpulkan segala keinginan dunia, namun bisa jadi penghalang untuk meraih kenikmatan yang sempurna di akhirat.” [Al-Mirqoh, 8/3252]
3) Perintah hidup zuhud, lebih mementingkan akhirat dan menjadikan nikmat harta yang Allah anugerahkan untuk beribadah kepada-Nya, bukan justru bermaksiat kepada-Nya. Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والحاصل أن الإنسان ينبغي له أن يكون زهداً في الدنيا، راغباً في الآخرة، وأن الله إذا رزقه مالاً فليجعله عوناً على طاعة الله، وليجعل الدنيا في يده لا في قلبه، حتى يربح بالدنيا والآخرة
“Walhasil, sepatutnya manusia hidup zuhud di dunia dan lebih mementingkan akhirat. Apabila Allah memberi rezeki harta kepadanya maka hendaklah ia jadikan sebagai sarana untuk taat kepada Allah, dan hendaklah ia jadikan dunia di tangannya bukan di hatinya, agar ia meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.” [Syarhu Riyadhis Shaalihin, 3/376]
4) Nikmat kekayaan harta pada hakikatnya, hanyalah yang kita gunakan untuk taat kepada Allah ta’ala dan bersedekah di jalan-Nya, karena hanya itulah yang akan bermanfaat di masa depan yang hakiki, yaitu di kehidupan akhirat.
Adapun harta yang digunakan untuk bermaksiat kepada Allah ta’ala, berbuat sia-sia dan berlaku boros, hanya akan menjadi bencana bagi pemiliknya.
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
فالإنسان ما لَه إلا هذه الأشياء، إما أن يأكل طعاماً وشراباً، وإما أن يلبس من أنواع اللباس، وإما أن يتصدق، والباقي له هو ما يتصدق به، أما ما يأكله ويلبسه؛ فإن كان يستعين به على طاعة الله؛ كان خيراً له، وإن كان يستعين به على معصية الله وعلى الأشر والبطر؛ كان محنة عليه والعياذ بالله والله الموفق
“Manusia tidaklah mendapatkan bagian dari hartanya kecuali tiga perkara ini:
Pertama: Apakah yang ia makan dan minum,
Kedua: Ataukah yang ia kenakan dari berbagai macam jenis pakaian,
Ketiga: Ataukah yang ia sedekahkan.
Dan yang akan terus menemaninya hanyalah harta yang ia sedekahkan. Adapun yang ia makan dan kenakan; apabila ia gunakan sebagai sarana untuk taat kepada Allah, maka harta itu adalah kebaikan baginya, namun apabila ia gunakan sebagai sarana untuk bermaksiat kepada Allah serta untuk berbangga-bangga dan menyombongkan diri, maka harta itu adalah bencana atasnya. Hanya kepada Allah kita mohon perlindungan, dan hanya Allah yang memberikan taufiq.” [Syarhu Riyadhis Shaalihin, 3/376]
5) Peringatan untuk tidak bersikap ghuluw (berlebih-lebihan dan melampaui batas) dalam permasalahan harta, dan bentuk ghuluw dalam permasalahan harta ada dua jenis:
Pertama: Orang yang menghalalkan segala sesuatu demi harta, tidak peduli halal dan haram, tidak peduli walau usahanya dan penghasilannya dari hasil riba, khamar, judi, rokok, merugikan orang lain dan lain-lain.
• Bahkan sebagian orang tidak peduli walau harus memutus hubungan baik dengan keluarga dan teman dekat hanya demi harta, seperti dengan menipu dan tidak amanah dalam berbisnis, berhutang tidak mau bayar atau menunda-nunda pembayaran padahal sudah mampu membayar dan telah jatuh tempo, sebaliknya orang yang meminjamkan memaksa bahkan memenjarakan saudaranya yang kesusahan dalam membayar hutang.
• Sampai-sampai sebuah keluarga terpecah belah dan saling bermusuhan hanya karena memperebutkan harta warisan, padahal dalam syari’at telah ditentukan bagian masing-masing penerima warisan.
Kedua: Sebaliknya, ada orang yang mencela usaha mencari harta yang halal melebihi kebutuhan pokok, dan menganggap orang yang melakukannya tidak menginginkan kenikmatan di akhirat.
• Bahkan tidak jarang mereka tidak mau bekerja sama sekali dengan alasan ingin berkosentrasi untuk beribadah kepada Allah ta’ala, berdakwah, mengurus pondok, menuntut ilmu dan berbagai bentuk ibadah lainnya, tapi pada saat yang sama mereka membahayakan diri dan keluarga yang menjadi tanggungan mereka untuk dinafkahi. Tidak jarang pula mereka meminta-minta kepada manusia, dengan berbagai macam kedok. Padahal bekerja mencari nafkah juga bagian dari ibadah kepada Allah ta’ala apabila dilakukan dengan niat yang benar dan menempuh jalan yang halal.
• Adapun Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum berada di pertengahan, mereka bekerja, berjual beli, berkebun dan berbagai usaha-usaha yang halal dengan cara yang halal, tetapi tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah ta’ala dan menjadikan harta mereka sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, menyambung hubungan kekerabatan dan menyayangi orang-orang yang lemah lagi fakir.
[Lihat Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid libnil ‘Utsaimin rahimahullah, 1/376]
• Akan tetapi di satu sisi, menafkahi penuntut ilmu agar ia dapat berkosentrasi dalam menuntut ilmu dan menyebarkannya, sehingga ia tidak disibukkan dengan bekerja kecuali yang berkaitan dengan ilmu agama, adalah ibadah yang sangat agung.
• Demikian pula seorang penuntut ilmu yang bersabar dengan sedikit harta yang mencukupinya dan keluarganya serta tidak meminta-minta, dan tidak terlalu mengejar dunia demi meraih ilmu yang melimpah dan menyebarkannya, maka ini juga suatu kebaikan yang besar. Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَكَانَ أَحَدُهُمَا يَأْتِى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم وَالآخَرُ يَحْتَرِفُ فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِى الْمَالُ
“Sesungguhnya bagi setiap umat ada cobaan, dan cobaan bagi umatku adalah harta.” [HR. At-Tirmidzi dari Ka’ab bin ‘Iyadh radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 592]
Beberapa Pelajaran:
1) Hadits yang mulia ini memperingatkan agar berhati-hati dari berbagai kenikmatan dan kemewahan dunia yang dapat melalaikan manusia dari mengingat Allah ta’ala dan membuat lupa kenikmatan yang hakiki di akhirat kelak. Al-Imam Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata,
أَيْ اللَّهْوُ بِهِ لِأَنَّهُ يُشْغِلُ الْبَالَ عَنْ الْقِيَامِ بِالطَّاعَةِ وَيُنْسِي الْآخِرَةَ
“Makna cobaan dunia adalah bersenang-senang dengan kenikmatan dunia, karena ia dapat menyibukkan diri dari melakukan ketaatan dan membuat lupa akhirat.” [Tuhfatul Ahwadzi, 6/121]
2) Mengapa harta adalah cobaan yang berat dan perlu diperingatkan? Al-‘Allamah Ali Al-Qoori rahimahullah berkata,
لِأَنَّهُ جَامِعٌ لِحُصُولِ الْمَنَالِ وَمَانِعٌ عَنْ كَمَالِ الْمَآلِ
“Karena harta sanggup mengumpulkan segala keinginan dunia, namun bisa jadi penghalang untuk meraih kenikmatan yang sempurna di akhirat.” [Al-Mirqoh, 8/3252]
3) Perintah hidup zuhud, lebih mementingkan akhirat dan menjadikan nikmat harta yang Allah anugerahkan untuk beribadah kepada-Nya, bukan justru bermaksiat kepada-Nya. Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والحاصل أن الإنسان ينبغي له أن يكون زهداً في الدنيا، راغباً في الآخرة، وأن الله إذا رزقه مالاً فليجعله عوناً على طاعة الله، وليجعل الدنيا في يده لا في قلبه، حتى يربح بالدنيا والآخرة
“Walhasil, sepatutnya manusia hidup zuhud di dunia dan lebih mementingkan akhirat. Apabila Allah memberi rezeki harta kepadanya maka hendaklah ia jadikan sebagai sarana untuk taat kepada Allah, dan hendaklah ia jadikan dunia di tangannya bukan di hatinya, agar ia meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.” [Syarhu Riyadhis Shaalihin, 3/376]
4) Nikmat kekayaan harta pada hakikatnya, hanyalah yang kita gunakan untuk taat kepada Allah ta’ala dan bersedekah di jalan-Nya, karena hanya itulah yang akan bermanfaat di masa depan yang hakiki, yaitu di kehidupan akhirat.
Adapun harta yang digunakan untuk bermaksiat kepada Allah ta’ala, berbuat sia-sia dan berlaku boros, hanya akan menjadi bencana bagi pemiliknya.
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
فالإنسان ما لَه إلا هذه الأشياء، إما أن يأكل طعاماً وشراباً، وإما أن يلبس من أنواع اللباس، وإما أن يتصدق، والباقي له هو ما يتصدق به، أما ما يأكله ويلبسه؛ فإن كان يستعين به على طاعة الله؛ كان خيراً له، وإن كان يستعين به على معصية الله وعلى الأشر والبطر؛ كان محنة عليه والعياذ بالله والله الموفق
“Manusia tidaklah mendapatkan bagian dari hartanya kecuali tiga perkara ini:
Pertama: Apakah yang ia makan dan minum,
Kedua: Ataukah yang ia kenakan dari berbagai macam jenis pakaian,
Ketiga: Ataukah yang ia sedekahkan.
Dan yang akan terus menemaninya hanyalah harta yang ia sedekahkan. Adapun yang ia makan dan kenakan; apabila ia gunakan sebagai sarana untuk taat kepada Allah, maka harta itu adalah kebaikan baginya, namun apabila ia gunakan sebagai sarana untuk bermaksiat kepada Allah serta untuk berbangga-bangga dan menyombongkan diri, maka harta itu adalah bencana atasnya. Hanya kepada Allah kita mohon perlindungan, dan hanya Allah yang memberikan taufiq.” [Syarhu Riyadhis Shaalihin, 3/376]
5) Peringatan untuk tidak bersikap ghuluw (berlebih-lebihan dan melampaui batas) dalam permasalahan harta, dan bentuk ghuluw dalam permasalahan harta ada dua jenis:
Pertama: Orang yang menghalalkan segala sesuatu demi harta, tidak peduli halal dan haram, tidak peduli walau usahanya dan penghasilannya dari hasil riba, khamar, judi, rokok, merugikan orang lain dan lain-lain.
• Bahkan sebagian orang tidak peduli walau harus memutus hubungan baik dengan keluarga dan teman dekat hanya demi harta, seperti dengan menipu dan tidak amanah dalam berbisnis, berhutang tidak mau bayar atau menunda-nunda pembayaran padahal sudah mampu membayar dan telah jatuh tempo, sebaliknya orang yang meminjamkan memaksa bahkan memenjarakan saudaranya yang kesusahan dalam membayar hutang.
• Sampai-sampai sebuah keluarga terpecah belah dan saling bermusuhan hanya karena memperebutkan harta warisan, padahal dalam syari’at telah ditentukan bagian masing-masing penerima warisan.
Kedua: Sebaliknya, ada orang yang mencela usaha mencari harta yang halal melebihi kebutuhan pokok, dan menganggap orang yang melakukannya tidak menginginkan kenikmatan di akhirat.
• Bahkan tidak jarang mereka tidak mau bekerja sama sekali dengan alasan ingin berkosentrasi untuk beribadah kepada Allah ta’ala, berdakwah, mengurus pondok, menuntut ilmu dan berbagai bentuk ibadah lainnya, tapi pada saat yang sama mereka membahayakan diri dan keluarga yang menjadi tanggungan mereka untuk dinafkahi. Tidak jarang pula mereka meminta-minta kepada manusia, dengan berbagai macam kedok. Padahal bekerja mencari nafkah juga bagian dari ibadah kepada Allah ta’ala apabila dilakukan dengan niat yang benar dan menempuh jalan yang halal.
• Adapun Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum berada di pertengahan, mereka bekerja, berjual beli, berkebun dan berbagai usaha-usaha yang halal dengan cara yang halal, tetapi tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah ta’ala dan menjadikan harta mereka sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, menyambung hubungan kekerabatan dan menyayangi orang-orang yang lemah lagi fakir.
[Lihat Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitab At-Tauhid libnil ‘Utsaimin rahimahullah, 1/376]
• Akan tetapi di satu sisi, menafkahi penuntut ilmu agar ia dapat berkosentrasi dalam menuntut ilmu dan menyebarkannya, sehingga ia tidak disibukkan dengan bekerja kecuali yang berkaitan dengan ilmu agama, adalah ibadah yang sangat agung.
• Demikian pula seorang penuntut ilmu yang bersabar dengan sedikit harta yang mencukupinya dan keluarganya serta tidak meminta-minta, dan tidak terlalu mengejar dunia demi meraih ilmu yang melimpah dan menyebarkannya, maka ini juga suatu kebaikan yang besar. Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَكَانَ أَحَدُهُمَا يَأْتِى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم وَالآخَرُ يَحْتَرِفُ فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
“Dahulu ada dua orang bersaudara di masa Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam. Salah satu dari keduanya selalu mendatangi Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam (untuk menuntut ilmu agama), dan salah
satunya lagi sibuk bekerja, maka yang bekerja ini mengadukan saudaranya
(yang tidak membantunya bekerja) kepada Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam, beliau pun bersabda: Bisa jadi engkau diberi rezeki karena
saudaramu itu.” [HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Shahih Al-Jami’: 5084]
Sumber : http://sofyanruray.info
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
0 komentar:
Post a Comment