Permintaan
pulp terus mengalami peningkatan di pasar dunia, diikuti dengan
kemajuan teknologi dalam pengolahan kayu menjadi pulp sehingga dapat
menghasilkan pulp dengan serat yang berkualitas. Tingginya permintaan
pulp para investor terus mengembangkan usaha industrinya melalui
pemenuhan bahan bakunya yaitu kayu, untuk menghasilkan 1(satu) ton
pulp dibutuhkan kurang lebih 6(enam) ton kayu tanaman industry, agar ketersediaan
pasokan kayu mencukupi dan berkesinambungan maka dibutuhkan perusahan
pengelolaan hutan tanaman industry (HTI).
Perusahaan
hutan industry menjadi pemeran utama, untuk mendukung kelancaran
perusahaan industry dalam menghasilkan pulp, kapasitas
produksi pada industry pulp harus diimbangi luasan konsensi hutan
industry yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan kayu sebagai bahan baku utama pulp. Tanaman
industry dapat ditebang/dipanen setelah tanaman berumur 5(lima)
tahun, pembahasan mengenai proses pembangunan hutan industry sudah
pernah diulas pada tema sebelumnya selengkapnya dapat dibaca DISINI .
Dikesempatan
kali ini penulis ingin membahas khusus mengenai suksesi produksi
hutan industry terhadap mitra kerja/kontraktor dalam hal ini lebih memfokuskan proses penebangan
kayu/pemanenan kayu sampai dengan transportasi menuju ke mill.
Secara
garis besar perusahaan pengelola hutan industry melakukan proses pemanen kayu
dibutuhkan beberapa tahap yaitu :
1
. Micro Planning
Proses
ini merupakan perencaan awal sebelum dilakukan kegiatan penebangan,
micro planning memuat informasi penting pada areal yang akan di
tebang berupa :
- Persiapan peta kerja
- Pembuatan layout jalan (baca juga : pembuatan jalan )
- Pembagian nama petak yang akan ditebang
- Penentuan titik Tempat penampungan kayu
2
. Pra Tebang
Kegiatan
ini merupakan kegiatan pembersihan areal secara manual jika
penebangan menggunakan chainsaw misal menggunakan parang . Jika
menggunakan kegiatan mekanis maka kegiatan pra tebang bisa dilewati
misal : excavator harvester
Tujuan
dilakukan pembersihan areal sebelum tebang agar memudahkan penebangan
dan menjaga safty operator chainsaw
3
. Felling (Penebangan)
Kegiatan
penebangan menggunakan system yang telah ditentukan oleh perusahaan ,
seperti penebangan system terarah dan dilakukan secara sistematis.
Dengan system tebang terarah maka dapat menjaga keselamatan pekerja.
Kelebihan lainnya menggunakan system tebang terarah dapat
meningkatkan produktifitas alat excavator, menghindari kegiatan alat
seperti swing/memutar yang menyebabkan pemborosan biaya oprasional
excavator (Bbm/solar).
Pada
proses felling ada 2(dua) sub kegiatan setelah pohon ditebang yaitu :
1
. De-limbing adalah kegiatan pembersihan kayu dari cabang dan ranting
2
. Cut to length adalah kegiatan memotong bagian kayu sesuai dengan
ukuran kebutuhan di mill
Sub
kegiatan felling bertujuan agar kayu yang dikirim bebas dari ranting
dan sampah (batang utama)
4
. Stacking
Adalah
kegiatan penumpukan potongan-potongan kayu pada jalur yang sudah
dirancang . kegiatan tumpuk kayu bisa dilakukan oleh tenaga manual.
Tahap
selanjutnya kegiatan membutuhkan investasi alat berat seperti
excavator untuk kegiatan sbb :
5
. Matting
Yaitu
jalur yang dibuat dari seresah ranting atau anakan kayu sebagai
landasan untuk jalan alat berat . lebar jalur matting bisa 3-4 meter
atau mengikuti ukuran track alat berat. Tujuannya dilakukan matting
di areal rawa untuk menopang jalan alat berat agar tidak terperosok
sedangkan untuk diareal mineral/darat untuk pengendalian pemadatan
tanah oleh alat berat.
6
. Pre Bunching
Proses
pengumpulan kayu pada jalur tarik dengan menyusun pangkal kayu kearah
jalur tarik dengan cara mekanis . Kegiatan ini dilakukan jika tidak
dilakukan kegiatan pada point 4
7
. Spreading
Merupakan
proses penyerakan sisa ranting atau dahan kayu yang tidak masuk
spesifikasi kayu olahan dilakukan merata diseluruh areal, proses ini
dilakukan di areal darat, bila di rawa boleh tidak dilakukan
spreading jika sudah dilakukan pada point 5(lima) dan 6(enam).
8
. Extraction/Skidding/Penyaradan
Merupakan
proses kegiatan penarikan kayu ke tempat penampungan kayu yang sudah
ditentukan (pinggir jalan) untuk menunggu proses transportasi kayu.
Jika menggukan cara point 4 dimana kayu sudah disusun/ditumpuk
didalam petak maka kegiatan extraction alat dibantu dengan sampan
darat atau dengan alat lain seperti forwarder, Tractor Noka dll
9
. Loading
Yaitu
proses kegiatan pemuatan kayu menggunakan excavator di tempat
penampungan kayu (pinggir jalan/kanal) ke logging truck.
Tahapan
yang dilakukan oleh kontraktor/mitrakerja perusahaan hutan industry
pada point 2 s.d point 9 , pada point 2 s.d 4 dilakukan manual bisa
dengan pemberdayaan masyarakat local sekitar hutan industry atau
mengambil dari tenaga lain. Pada point 5 – 9 dibutuhkan strategi
produksi yang sistematis dan terukur oleh kontraktor, kenapa demikian
karena point 5 – 9 membutuhkan investasi alat berat dan biaya
operasional yang tidak sedikit sehingga penentuan produktifitas unit
alat tersebut sebagai kunci keberhasilan kontraktor bekerja di hutan
industry .
Untuk
memudahkan perhitungan kinerja unit excavator yang dikelola oleh
mitra kerja sebelum memutuskan untuk bergabung dalam operasional di HTI, bisa dihitung dengan beberapa contoh rumus sebagai acuan
apakah harga yang ditawarkan oleh perusahaan industry sesuai dengan
kemampuan kerja kontraktor, dan apabila harga yang ditawarkan diluar kemampuan kontraktor maka negosiasilah jalan terbaik untuk mencapai kesepakatan bersama agar tidak merugikan disalah satu pihak.
Hal-hal
yang harus diuji dari harga yang ditawarkan oleh pegelola HTI sebagai
pertimbangan awal dan mengukur kemampuan kontraktor itu sendiri
dimulai dari menghitung :
1
. Menentukan Nilai Perolehan (jika alat dibeli secara tunai)
Disaat
memberikan keputusan mitra kerja membeli unit alat berat maka perlu
dihitung berapa rupiah beban per bulan atau bisa dikatakan
depresiasi efektif kinerja alat. Nilai perolehan = jumlah leasing
yang dibayar setiap bulan, jika alat tersebut menggunakan system
leasing maka rumus ini dilewatkan langsung ke nomor 2(dua), NP =
angka nominal leasing yang harus dibayarkan setiap bulannya.
Ket :
NP
= Nilai Perolehan / Nilai leasing per bulan
HP
= Harga beli Alat
EO
= Efektif operasional (36 bulan)
2
. Menghitung biaya operasional alat excavator per bulan
Untuk
menunjang operasional unit alat, maka dibutuhkan berapa anggaran
operasional untuk unit tersebut, maka bisa dihitung dengan rumus :
BO
(Rp) = ( FC x HS x HH x JH )
Ket
:
BO
= Biaya Operasional per unit alat
FC
= Konsumsi bbm per HM pada alat
HS
= Harga solar/bbm
JH
= Jumlah hari dalam sebulan (30 hari)
3
. Dana Operasional (DO)
Biaya
yang meliputi gaji operator, biaya perawatan unit dan biaya
lain-lain, maka bisa dihitung dengan rumus :
DO
(Rp) = BO x P
Ket:
BO
= Biaya Operasional per unit alat
P
= persentase % masing-masing mitra kerja tentukan sendiri secara proposional
4 . Nilai Harga Perolehan
Pada
perhitungan ini menginformasikan berapa standar minimal produksi
(tonase) per unit dari nilai harga yang ditawarkan oleh pihak pertama
(Perusahaan Hutan Industry) dengan rumus :
Hasil
NHP satuannya bisa tonase atau M3 tergantung perusahaan HTI itu
membayar dengan satuan apa, hasil perhitungan NHP merupakan standar
minimum target pencapaian produksi atau bisa dikatakan BEP (break
even Point) yang artinya sebuah titik dimana biaya atau pengeluaran
dan pendapatan adalah seimbang sehingga tidak terdapat kerugian atau
keuntungan , dengan kata lain hasil perhitungan NHP bisa diartikan
Total Revenue = Total Cost.
Contoh
:
Perusahaan
HTI menawarkan paket harga produksi kayu Rp 100.000 /ton ( pre
bunching, spreading , extraction dan Loading) kepada kontraktor ABC.
Target Perusahaan HTI kepada kontraktor ABC selama setahun 500.000
ton. Rencana kontraktor ABC operasionalnya menggunakan alat Excavator
PC130, jika harga per unit Rp 1,5 milyar, dengan konsumsi bbm 12
liter/hm dan bekerja selama 10 jam per hari. Maka harga yang
ditawarkan perusahaan HTI perlu diuji kelayakannya oleh kontraktor
ABC dengan rumus tersebut diatas :
Menghitung
nilai NP :
Menghitung
BO
BO
(Rp) = ( FC x HS x HH x JH )
Jika:
FC
= 12 liter/hm
HS
= Rp 6.000/liter
HH
= 10 jam
JH
= 30 hari
BO
(Rp) = ( 12 ltr x Rp 6.000 x 10 jam x 30 hari )
BO
(Rp) = Rp 21.600.000
adalah
biaya yang rutin yang akan dikeluarkan setiap bulan per unit alat
Sebagai
penunjang operasional maka dihitung biaya anggaran untuk menunjang
operasional per unit alat dengan rumus DO (Rp) = BO x P
Jika
P = tentukan nilai persentasenya misalkan 30%
DO
(Rp) = Rp 21.600.000 x 30%
DO
(Rp) = Rp 6.480.000,-
Angka
tersebut merupakan biaya overhead bisa seperti gaji, uang makan,
biaya transportasi dilapangan dll.
Setelah
nilai Np, BO dan DO didapat langkah selanjutnya yaitu menguji nilai
harga yang ditawarkan oleh perusahaan HTI dengan rumus :
Target
produksi minimum 697 ton per unit per bulan , jika hasil
produktivitas unit alat dibawah nilai NHP maka dipastikan rugi, untuk
itu langkah terakhir apakah kontraktor ABC mampu bekerja di
perusahaan HTI, maka team kontraktor ABC perlu mengukur sendiri
kemampuan yang dimiliki seperti keahlian operator bekerja di HTI dan
Unit alat yang sehat semisal mampu mencapai target 1.200 ton, maka bisa
dihitung menggunakan Rumus profit
Profit
= (tonase x HP) – (BO + NP + DO)
Profit
= (1.200 ton x Rp 100.000) – (Rp 21.600.000 + Rp 41.666.667 + Rp
6.480.000)
Profit
= Rp 50.253.333 per bulan
Dengan
sumber daya yang dimiliki kontraktor ABC dengan menggunakan standar
harga yang ditawarkan perusahaan HTI masih mendapatkan sisa hasil
usaha / prospek untuk menerima harga tersebut.
Langkah berikutnya yaitu menentukan jumlah unit untuk mencapai target yang
diberikan perusahaan HTI sebesar 500.000 ton per tahun, dibutuhkan
alat sesuai dengan kemampuan kontraktor ABC maka dapat dihitung
dengan rumus :
Ket
:
T
= Target tonase/M3 setahun
BS
= Jml bulan setahun
PU
= Pencapaian jumlah produksi (ton) per unit
Kebutuhan
Jml unit = 35 unit excavator PC 130 untuk menyelesaikan target
produksi perusahaan HTI selama setahun.
Langkah yang terakhir setelah menguji standar harga sudah, mengukur kemampuan sumber daya sudah, apabila sudah layak dan sesuai mitra kerja tidak cukup mempertimbangkan strategi bisnis sampai disitu saja, hal yang harus dipertimbangkan apakah harga dihitung di petak/Tpn atau harga kayu sampai diterima di Mill/Pabrik. Bila harga diterima di tumpukan kayu di pinggir petak maka langkah selanjutnya cukup tidak dibahas mengenai transportasi kayu, bila harga di terima di mill/pabrik yang jaraknya membutuhkan mobilisasi kayu maka perlu dibahas langkah selanjutnya, karena kekuatan sumber daya mitra kerja yang sudah mencukupi akan menjadi sia-sia jika sarana transportasi kayu tidak terpenuhi alhasil kayu menumpuk dan belum bisa dijadikan uang.
Wood transport merupakan proses memindahkan kayu dari hutan industri ke penampungan terakhir dalam hal ini Mill/pabrik. Proses transportasi kayu tentu juga membutuhkan unit armada yang akan dibahas pada sesion selanjutnya.....
0 komentar:
Post a Comment